Senja Berisik: Pelacur dan Pelacuran
22.58.00
Pelacuran identik sekali dengan Kaum Hawa. Setidaknya sebagian besar, memang, pelaku tindak “pelacuran” dilakukan oleh perempuan. Meskipun pada kenyataannya sama sekali tidak. Banyak juga cerita miris dari kehidupan pelacuran laki-laki (yang hanya disenggol sedikit” ceritanya).
Pelacuran atau prostitusi, jika ditelusur dari segi bahasa, setidaknya kata benda tersebut memiliki definisi : penjualan jasa seksual untuk uang dimana pelakunya disebut sebagai pelacur. Baiklah, setidaknya itu definisi “Sakleknya”.
Foto: Elsa Amanda Putri (2016)
“Pelacur bukan berarti Melacur”(Dikutip dari tokoh dr.Kartini di film “Tujuh Hati, Tujuh Cinta, Tujuh Dunia)
Beberapa waktu lalu saya menyimak dengan seksama cerita dari seorang rekan mengenai kehidupan pelacur di salah satu sudut kota Yogyakarta, Pasar Kembang. Riset yang tidak begitu mendalam, namun cukup mengena (bagi saya pribadi). Maklum, bentuk riset anak documenter jauh berbeda lah ya dengan riset anak isipol ataupun filsafat. Ada keunggulan “real” tersendiri tanpa kehadiran instrument: Kuesioner. Cara yang mereka gunakan untuk mendapatkan data pun cukup mengejutkan, dan tentu saja sangat berbeda dengan cara yang sekedar tertulis di metodologi penelitian. Skip..
Seperti di sinetron ala ala ataupun buku-buku dan bahkan lagu-lagu yang seting kita dengar: Kehidupan mereka tidak “senyaman” yang kita dibayangkan. Banyak dari mereka terlalu terjerembab dalam kebimbangan. Mereka seakan berdiri dipusat tiga jarum jam yang tidak ada satu jalanpun mampu mereka kendalikan. Banyak arah yang mereka ketahui, namun terlalu bimbang untuk mengambil keputusan. Otak dan hati terlalu remang, hingga hanya samar yang dapat mereka rasakan. Sehingga suatu titik mereka menyadari: waktu berlalu begitu saja. Bukan lagi soal “harga diri” yang mereka sayangkan. Tetapi hati, adalah barang paling berharga yang mereka barterkan dengan lembaran-lembaran kertas bergambar pahlawan nasional. Mereka merelakan hati mereka. Mereka memaksakan diri mereka untuk menjadi makhluk tidak berhati. Satu kalimat di short movie itu cukup membuat saya hanyut sekaligus bersyukur. Saya salah satu manusia beruntung yang masih memiliki hak untuk hati saya sendiri.
Foto: Setyawan Dwi P (2016)
“Pelacuran Hati, Pelacuran Cinta, Pelacuran Dunia”Bersambung dengan sore itu… pikiran lalu terbang melayang ke salah satu tulisan dari Dee. Malalui avatar ciptaanya: Diva, tokoh perempuan cerdas dari Supernova #1 (Kesatria, Putri dan bintang Jatuh). Seorang perempuan dengan fisik sempurna yang memiliki “pekerjaan ganda”, memiliki pendapat yang mampu membangun suasana berisik di kala senja pada hari itu: …… Lalu sebutan apa bagi yang rela melacurkan jiwa mereka pada dunia? pada waktu? pada cinta? bukankah mereka juga menyembah berhala untuk uang? untuk kenayamanan dunia mereka sendiri? (ini kutipan ya, bukan bermaksud untuk menghujat dengan sebutan seperti itu).
Yakinkah kita bahwa selama ini kita bukan "pelaku" Pelacuran Hati, Cinta dan Dunia?
Foto: Elsa Amanda Putri (2016)
Ya. Pelacuran dunia tidak hanya melulu soal fisik. Pelacuran hati, pelacuran jiwa ternyta lebih mengerikan.Tidak mengenal gender, tidak mengenal umur. Terjadi pada semua lapisan usia, yang terlalu cinta pada dunia. Meletakan kehormatan mereka sebatas pada kehidupan dunia, berlomba-lomba menyembah “berhala”, melacurkan “kepercayaan” dari jiwa mereka sendiri.
Ini bukan soal anti dunia ataupun anti hari akhir. Namun lebih ke batasan-batasan dikatakan kedua ya. Pasti ada alasan bukan kenapa harus ada entitas sama (kita) di dua dunia?
Foto: dida KHF (2016)
Apakah ini hanya sebatas kekhawatiran yang terlalu berlebihan saja?
Berbincang mengenai hal ini tentu saja pikiran langsung mengarah ke pangkal topik: NIAT. Ya, menurut saya meluruskan niat dalam segala langkah bukanlah hal yang mudah. Suatu tindakan terkadang menjadi keliru ketika niatan awal "salah kiblat".
Terkadang kita lupa akan batasan-batasan kita, sehingga keluar dari lingkup masalah. Lupa akan tujuan. (Atau: belum sempat merumuskan tujuan pada diri ini sendiri?) Untuk sekedar menjawab pertanyaan: Kemanakah waktu akan kita habiskan? Untuk apakah otak ini kita gunakan?
Terkadang kita lupa akan batasan-batasan kita, sehingga keluar dari lingkup masalah. Lupa akan tujuan. (Atau: belum sempat merumuskan tujuan pada diri ini sendiri?) Untuk sekedar menjawab pertanyaan: Kemanakah waktu akan kita habiskan? Untuk apakah otak ini kita gunakan?
Foto: Elsa Amanda Putri (2016)
Atau jika tidak, sekarang waktunya untuk bertanya :
Apakah Mereka Yang Bukan Pelacur Pasti Tidak Melacur?
Apakah mutlak kita lebih baik daripada mereka?
Sudah pantaskah kita disebut sebagai makhluk paling mulia: Manusia?
Rasanya diri ini masih terlalu bodoh untuk menyandang gelar tersebut...
#TitikKoma
dida KHF
0 komentar