Tanpa Judul
21.21.00
Sore itu: tatap matanya tajam, tak ada sedikitpun ada kedip ataupun goyang. Saya tau, orang itu berusaha meyakinkan, juga (mungkin) memaksakan hati untuk bisa memberikan toleransi cadangan berupa kemakluman kepada saya. Sikapnya seolah mengatakan: baiklah, semua itu tidak mengapa.
## ; ##
Kembali ke kalimat inti: ... menyangkut apa yang ingin saya sampaikan di tulisan saya ini, saya hanya akan sedikit menyinggung tulisan yang pernah saya tulis di jurnal pribadi Titik Koma.
Membuka lembaran itu ('nekg' banget bahasanya), saya menemukan sebuah kutipan dari seorang teman dekat: Tidak ada satupun karakter manusia yang salah, karena Allah tidak mungkin keliru saat menciptakan ciptaan-Nya. Hanyalah ego kita, yang tidak mau mengerti, tidak mau belajar memahami, tidak mau mentolerir sudut pandang orang lain, langsung berkompetisi menyalakan mode 'mendadak jadi hakim'.
Mengibaratkan tetang permasalahan tebak benda: saat orang-orang diminta untuk menebak nama suatu benda setelah menganalisanya. Mereka yang ada di samping kanan kiri bertemu dan berkoloni untuk sepakat meneriakkan jawaban: lingkaran. Di lain pihak dari kejauhan, orang-orang di sisi depan belakang protes, mereka yakin benda yang mereka lihat itu adalah persegi panjang. Lalu kemudian masing masing dari 'koloni' (sebut saja koloni ya) malah asik berdebat tanpa mau mencoba benar benar mencari jawaban dari pertanyaan: " Benda Apa Itu?". Jika saja masing masing mau berpindah kedudukan, bukankah akan terasa gamblang bahwa tidak ada yang benar dan keliru. Keterbatasanlah yang membuat mereka tidak bisa melihat bahwa objek sebenarnya adalah: tabung. Mungkin kiasan inilah yang sesuai dengan prinsip: "Yang Diatas-lah" yang tau apa sebenarnya. Bukan begitu?
## ; ##
Sore itu: saya juga tau, ada seberkas ketidakikhlasan yang tidak bisa terelakan. Ada kekecewaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada kekhawatiran yang menyangkut ditenggorokannya. Sebenarnya mudah menerjemahkan keadaan ini: ia menyayangkan, namun perasaan untuk menerima dan mendukung saya jauh lebih besar dari ego dan cara pandangnya sendiri. Gerak dan sikapnya memnag tenang, matanya terlihat sangat meyakinkan, namun ada satu hal yang sudah tidak bisa terbendung lagi hingga muncul ke permukaan: gemuruh hati hingga menyebabkan suaranya bergetar. Satu satunya kejujuran yang mewakili perasaannya adalah nada dengan satu tingkat lebih rendah dari intonasi cara berbicaranya yang sebelumnya ..
Banyak orang (termasuk saya juga dulu) mengomentari sesuatu dengan proses instan ala ala kaya kalau kita ketemu sama tong biskuit legend Khong Guan, pasti buru buru ngambil wafernya. Pada akhirnya ketidakmauan kita untuk mencoba menempatkan diri menjadi orang lain (bahasa jawa: mapake awak) cenderung berpotensi menjadikan diri kita sebagai pribadi egois yang sukannya berburuk sangka.. dosa lagi, penyakit hati lagi, juga bisa banget malah beradu pendapat sampai sampai gampang makan ati manusia. Sedih..
Belum lama hal yang sama juga terjadi di masalah ketika ada seorang teman nyletuk dan 'cenderung' memojokkan soal topik emansipasi perempuan, hingga berujung ke permasalahan topik sensitif mengenai fenomena seorang wanita karir. Salah satu teman laki laki saya benar benar menghujat perempuan karir yang rajin berangkat pagi, pulang sore: "heh.. perempuan kaya gitu pasti tidak pernah mengurus suami dan anaknya. Ngak tau kodratnya itu apa, kewajiban utamanya apa. Keluarganya ditelantarin. Sebenernya kenapa sih perempuan itu ngak mau nerima aja apa yang suaminya kasih? Hidup itu untuk apa to? Blablabla~". Cukup panjang hujatan teman saya yang malah dilontarkan ke saya dan beberpa teman lainnya ketika kami sedang berkumpul di kantin kampus. Saya hanya menjawab,"kok bilangnya perempuan sih? Kan ngak semua perempuan gitu. Eh banyak juga lo perempuan yang jadi ibu rumah tangga sejati tapi malah ngak sadar tanggung jawabnya apa." Jujur saya hanya sedikit sedih melihat seseorang yang cara mikirnya kaya program matlap ala ala konveyor, adanya cuman Yes and No. Padalah soal manusia, siapa tau kehidupan seseorang (orang lain) itu seperti apa? Bisa jadi si perempuan karir X bangun jauh lebih awal dari perempuan kebanyakan? Ketika dirumah ia 'sepenuhnya' menghadirkan sosok istri sekaligus ibu bagi keluarganya? Siapa yang bisa tau, bahwa ia bersujud lebih lama dibandingkan dengan orang kebanyakan, untuk senantiasa meminta ridha-Nya atas apa yang ia kerjakan? Ia mengerti dan bertanggung jawab atas semua perannya, dan tau juga ingat apa apa saja yang perlu diprioritaskan. Siapa tau aktivitasnya memang sudah diridhai suami???
Jika disinggung perempuan yang bekerja langsung dilabel untuk disebut sebagai perempuan yang ngak bisa menerima nafkah dari sang suami, emmm sebentar sebentar, kita lihat dulu pelakunya dan objek yang diamati ya kakak...
Saya rasa ngak semua orang bekerja hanya demi uang lo. Toh juga kalau bahas soal kerjaan, tentu pembicaraan akan tergiring ke arah "willing" sifat dasar manusia, ngak laki laki ngak perempuan, untuk berkontribusi, untuk berpreatasi, untuk bisa bersedekah dan berbagi, untuk bisa menjadi seorang anak yang baik, teman yang baik juga orang yang bisa membantu membahagiakan orang orang disekitarnya. Bukankan keinginan itu sama sama dimiliki manusia? Bukan lelaki, bukan perempuan. Mengeneralisasikan terhadap apa yang baik dan buruk saya rasa bukanlah hal yang cukup bijak. Itu menurut saya lo. Tetapi memang saya akui soal perempuan karir, itu dikembalikan lagi ke pribadi masing masing pelakunya. Risiko yang mengintai selaras dengan tanggung jawab yang kita pikul, bukankah begitu? Ada banyak orang yang saya rasa cukup sukses dalam memikul tanggung jawabnya, namun beberapa juga ada yang lupa.
Semua usahanya saya hormati sebagai bentuk apresiasi terhadap sudut pandang atas keputusan saya. Keputusan saya untuk belajar menyelam di 'lubang sumur'. Jangan khawatir! Saya tau apa yang saya masuki ini sumur bukanlah kolam renang. Saya ingin belajar berenang sambil meraba dasar palung terdalam, saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk bisa muncul ke permukaan tanpa 'lupa daratan'.
## ; ##
Jika disinggung perempuan yang bekerja langsung dilabel untuk disebut sebagai perempuan yang ngak bisa menerima nafkah dari sang suami, emmm sebentar sebentar, kita lihat dulu pelakunya dan objek yang diamati ya kakak...
Saya rasa ngak semua orang bekerja hanya demi uang lo. Toh juga kalau bahas soal kerjaan, tentu pembicaraan akan tergiring ke arah "willing" sifat dasar manusia, ngak laki laki ngak perempuan, untuk berkontribusi, untuk berpreatasi, untuk bisa bersedekah dan berbagi, untuk bisa menjadi seorang anak yang baik, teman yang baik juga orang yang bisa membantu membahagiakan orang orang disekitarnya. Bukankan keinginan itu sama sama dimiliki manusia? Bukan lelaki, bukan perempuan. Mengeneralisasikan terhadap apa yang baik dan buruk saya rasa bukanlah hal yang cukup bijak. Itu menurut saya lo. Tetapi memang saya akui soal perempuan karir, itu dikembalikan lagi ke pribadi masing masing pelakunya. Risiko yang mengintai selaras dengan tanggung jawab yang kita pikul, bukankah begitu? Ada banyak orang yang saya rasa cukup sukses dalam memikul tanggung jawabnya, namun beberapa juga ada yang lupa.
## ; ##
Sore itu: saya tersenyum dan menatap sedikit lebih lekat. Saat itu, saya memandang bukan untuk mencari tanda kebohongan, apalagi berfikiran untuk sekedar mencari refleksi bayang diri saya sendiri 'disana'. Namun sebenarnya saya ingin mengatakan: Terimakasih. Satu satunya kata yang saya ingin ucapkan tanpa harus berkata apa apa 'hanyalah' terimakasih.Semua usahanya saya hormati sebagai bentuk apresiasi terhadap sudut pandang atas keputusan saya. Keputusan saya untuk belajar menyelam di 'lubang sumur'. Jangan khawatir! Saya tau apa yang saya masuki ini sumur bukanlah kolam renang. Saya ingin belajar berenang sambil meraba dasar palung terdalam, saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk bisa muncul ke permukaan tanpa 'lupa daratan'.
## ; ##
Semoga kita termasuk orang orang yang dimudahkan dalam berbuat kebaikan , peka untuk merengkuh berkah, dan ditunjukkan jalan yang benar. Amin, barakaAllah..
Yang sedang memastikan sebuah pilihan,
Khoirunnida Husni Fajarria
0 komentar