I Wanna Be, So What?

07.46.00

"Semua diberikan karunia yang sama: Akal, Hati dan Kehendak"
Salah satu kegalauan mahasiswa tingkat akhir adalah masa depan yang harus mereka rancang. Itu terjadi juga pada saya. Menurut saya galau yang satu ini adalah salah satu kegalauan positif, dalam artian perasaan “Galau” tidak melulu sebagai kata kerja negatif. “Galau masa depan” menurut saya adalah indikator bahwa seseorang sudah memiliki  pikiran,  niatan dan harapan untuk dirinya sendiri. Sudah ada tanda bahwa dia benar-benar mau dan benar-benar memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan yang mungkin terjadi. Untuk selanjutnya berani untuk memupuk dan menciptakan mimpi serta tujuan pribadinya kelak. Banyak loh dari kita (pengalaman pribadi dari penulis) yang masih banyak belum merasakan “kegalauan” tadi. Jadi, berbanggalah bagi kalian yang galau soal masa depan! Karena setidaknya kita sudah satu  step memiliki pemikiran lebih maju. Yeay!
Tapi ingat! jangan sekali kali berniat untuk terbuai dalam kegalauan tadi. We’ve To Move Up guys!

Apalah arti satu step di depan, apabila kita tidak bisa menyelesaikan goal itu? Apalah arti mimpi yang sudah kita ciptakan kalau tidak ada tindakan nyata bagi kita sendiri. Dan apalah arti niatan kalau tak ada tindakan dan usaha yang berarti didalamnya? That’s Nothing! Dari sebuah mimpi, kita masih perlu mengerucutkan cita-cita itu menjadi tujuan-tujuan yang lebih bermakna. Memilah dan menspesifikkan apa keinginan benar-benar  kita inginkan dan kita prioritaskan. Hingga pada akhirnya pasti kita menemukan jalan untuk bisa menuju kesana oleh diri kita sendiri. “Jalan Yang Kita Temukan Sendiri”.



 (Setengah jam setelah rangkaian pas foto rencana internship#3)


Berkaitan dengan kalimat: “Jalan Yang Kita Temukan Sendiri” untuk fresh graduate  tentu maknanya sangat luas sekaligus sangat dalam untuk kita salami. Selami kemana? Ya kita salami ke diri kita sendiri. Terkadang kita tidak mau, ataupun takut untuk mengenal diri kita sendiri. Terkadang kita lebih memilih mendengarkan “Advice” dari orang lain, dari motivator di seminar atau workshop workshop yang kita ikuti. Dan dari terkadang-terkadang itu alhasil melahirkan sebuah sugesti: terkadang kita lebih memilih percaya kepada mereka yang sukses lebih dulu dari pada percaya pada diri kita sendiri. Dan yang lebih mengerikan munculah keraguan-keraguan akan mimpi yang kita ciptakan. Rasa ragu, tidak fokus, dan mungkin merasa kehilangan arah? Mulai dari Z E R O. Dan yap tentu saja saya juga mengalami hal itu.

Sekarang ini banyak gembar-gembor dari berbagai penjuru mulai dari motivator, inspirator, dosen, dan teman sejawat untuk kita mau mengenal jalan “Enterpreneurship”. Ngak asing lagi kan ya? Banyak spekulasi spekulasi yang beredar di kehidupan kita sehari-hari. Sayangnya, sebagian oknum menjadikan pendapat-pendapat berbau memotivasi tersebut terkesan sedikit “Membabi Buta”. Enterpreneur  seakan menjelma sebagai sebuah posisi yang sangat prestise! Ya mungkin jelmaan itu dibutuhkan untuk menggantikan  posisi “Penambang” yang sekarang ini (2016) sudah benar-banar "mulai" kehilangan eksistensinya. Maaf bukan bermaksud apa-apa
Alternatif-alternatif  banyak berceceran disana sini,  menjadi entrepreneur ini lah, itu lah, dengan cara beginilah begitulah. Banyak sekali. Selain terlihat sangat “Waw”, “Keren Banget” dan bonus embel-embel “Kerjanya Enak Ya”? Serta banyak sekali label-label mulia yang sengaja dipersembahkan untuk para jiwa-jiwa entrepreneur muda.

Ok, sampai parargaf ini jangan berpikiran dulu bahwa saya tidak setuju dengan konsep: "ENTERPRENEURSHIP". Dan bukan bermaksud saya ingin menghujat entrepreneur atau apa lo ya Sungguh. Jika ada kalimat yang berbau seperti itu, berati anda baper. Dan sedikit sensitif serta “Kurang open terhadap opini seseorang”. Jangan dimasukkan dalam hati yap!
Basic keluarga saya sendiri, sebagian besar dari mereka adalah entrepreneur juga kok. Sedari kecil saya sudah makan nasi hasil dari Bapak saya yang bekerja sebagai wiraswasta. Kakak pertama saya (re: idola saya sedari kecil) rela melepaskan cita-cita berlayarnya dan memutuskan untuk memulai usaha  di bidang jasa travel wisata. Saat ini ibu saya sudah mulai memasuki masa-masa penyambutan tahun purna, dan sejak tahun 2014 mulai merintis  usaha kuliner kecil-kecilan. Paman saya juga sukses berat di dunia bisnis. Beberapa sepupu saya juga begitu. Ada yang menggeluti bisnis fashion, culinary dan jasa konstruksi. Saya menyaksikan betapa mereka menikmati perjuangan-perjuangan mereka sedari angka Nol sejak keputusan awal. Ada juga yang memulai itu semua dengan cara keluar dari zona nyaman mereka. Lingkungan saya tentu sangat kental dengan kata "Enterpreneurship". Sedari dulu saya sangat sadar, sangat tau, dan sangat merasakan betapa positifnya aura dari seorang sosok Enterpreneur. Selain bisa menghidupi pribadi diri mereka sendiri, entrepreneur juga bisa menyerap lapangan pekerjaan warga sekitar dan meningkatkan kualitas hidup orang lain. Lebih lanjut mereka berpotensi untuk menambah devisa negra dan memajukan bangsa ini. Hidup Indonesia!

***Back To Topic***
Selanjutnya dari itu semua muncullah banyak pertanyaan pribadi yang sangat menganggu di kepala.
Pertanyaan yang sekarang manjadi sangat pahit yang ingin saya lontarkan adalah: Apakah memalukan apabila seseorang bercita-cita untuk menjadi karyawan? Apakah begitu sememalukannya apabila orang ingin bekerja disebuah perusahaan atau instansi? menjadi politikus? atau menjadi apa-apa yang mereka inginkan selain entrepreneur?
Bercita-cita sebagai karyawan seakan menjadi cita-cita yang bodoh untuk sebagaian manusia. Seakan bekerja di sebuah perusahaan atau instansi lembaga pemerintahan adalah sebuah pekerjaan yang tidak berkesempatan untuk nominasi “prestise” dan mustahil mendapatkan label “Keren” dibenak sebagian orang. Dan dampaknya? Tentu berimbas  rasa malu, dan rendah diri, serta ragu bagi para pemimpinya. Disini termasuk saya kali ya?
  Riau Andalan Pulp and Papper (2014)

"Terkadang" saya terlalu menutup telinga dari orang lain...
Tetapi menurut saya, jalan masa depan sebenarnya hanya kita yang bisa menemukan. Kita yang tau keinginan kita sendiri. Kita yang akan menjalani dan mempertanunggungjawakan keputusan sekarang ini untuk masa depan kita sendiri.   Lalu kenapa harus “Terlalu” mendengarkan orang lain? yang ujungnya membuat kita ragu pada jalan kita sendiri.
Bagi saya, cita cita dan pekerjaan adalah sebuah "Panggilan". Bukan hanya sekedar “Ego”. Bukan hanya sebatas "Mencari Uang dan Kedudukan". Tetapi juga tidak boleh memuliakan keputusan dengan “Menuruti passion” dan atau "Idealisme berlebih". Ya pokoknya memilih karier adalah keputusan yang harus diputuskan dari diri kita sendiri, berdasarkan maunya kita, dengan tidak lupa mempertimbangkan “Ke-realistisan” dalam diri kita sendiri. Itu menurut saya. Ada orang yang suka dengan teknis, lapangan, yang sukanya kerja memakai celana kolor, ada yang suka dengan blazernya yang super rapi, dan kunjungsi-konjungsi lain. Mereka pribadi, dan sebagai individu berbeda.  Mereka memiliki "Value Driven" masing-masing yang disertai dengan "Kehendak" mereka. Walaupun sejatinya diciptakan oleh Pencipta yang sama, dengan sifat dasar yang sama, tetapi manusia tidak memiliki 100% hati dan otak yang sama bukan?
Dalam dunia kerja, setau saya selalu ada saja rewards pada setiap bidang. Satu paket pekerjaan beserta rewards ini menurut saya adalah the real value dari sebuah karier! Pada akhirnya itu semua akan melahirkan perasaan Kepuasan batin. Dan disini, lagi lagi reward dan kepuasan setiap orang berbeda.

Kita harus yakin? Fanatik dengan idealisme kita?
Mungkin jawabannya ya, atau tidak. Mungkin juga lebih baik kita juga sedikit membuka  pola pikir merespon sengketa jejak opini orang banyak tentang Enterpreneur dan Employee.
Mungkin juga kalau kita mau melihat sedikit history dari kalangan pengusaha sukses, banyak dari mereka yang tidak memulai usahanya "langsung". Tidak semua pengusaha memulai selayaknya Ronny Lukito ataupun Sukanto Tanoto. Banyak dari mereka yang memilih untuk melewati proses-proses sebelum menajdi enterpreneur, mereka sempat menjadi employee. Tidak perlu jauh-jauh menengok gebrakan dari Jack Ma, banyak juga pengusaha sukses Indonesia yang menginspirasi. Dan dari keseluruhan yang saya tau dari sana, saya akhirnya mendapatkan pembelajaran penting. Mereka mengerti perubahan dan mau berubah. Mereka sangat paham dengan diri mereka sendiri, dan menindaklanjuti adanya "panggilan" dari keadaan dan hati mereka. Entah tekat tersebut dapat terjadi karena kasus "kecelakaan" seperti Sandiaga Uno, ataupun kasus "panggilan hati" seperi para founder e-commerce Indonesia, Nadiem Makariem, Jason Lamuda, Dayu Dara Pramita, dll. *Nb: dan sebenarnya yang membuat saya kaget baru-baru ini jika diperhatikan mereka memiliki latar belakang karier di perusahaan yang sama dulu. Tau lah nama ya perusahaan besar itu? Di dunia pemerintahan Indonesia "alumni-alumni" perusahaan multinasional ini juga memiliki andil penting sebagai "pendekeng", yang telah berhasil melahirkan kebijakan-kebijakan genius di negara Indonesia!
   (Internship Program #1 Kerinci Central Nursery)

Yang jelas tidak ada pekerjaan yang memalukan, selagi pekerjaan itu masih Halal. Semua pekerjaan itu baik. Dalam kehidupan sudah ada porsi pekerjaan siapa untuk ini, siapa sebagai itu. Ingat, selalu ada keseimbangan, selalu ada porsi dan posisi. Dari situ mungkin kita berpeluang untuk menciptakan mimpi dengan bertindak. Tak ada jalan yang keliru selagi kita masih menempatkan “Value driven” sebagai prioritas utama, bukan sekedar “Money/ Profit Driven”. Karena didalam “Value” tentu ada “Money”, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Orang bisa suskes kalau mereka bersungguh-sungguh dengan jalanannya. Toh tidak ada syarat baku: Harus menjadi karyawan, ataupun entrepreneur, ataupun PNS, politikus dan lain-lain untuk Sukses. Satu satunya syarat sukses adalah: harus ada fokus usaha dan doa. Nah, jalananya tergantung keputusan kita.
Mungkin juga ada baiknya jika kita buang jauh jauh dulu soal “Kedudukan” dan “pemikiran-pemikiran instant”. Secara, kita adalah generasi milenium yang notabene sudah jatuh cinta setengah mati dengan kata “instant”.  Harus ada usaha ketika kita menginginkan sesuatu dan menginginkan menjadi sesuatu.

Kita juga harus open terhadap pendapat orang lain. Kita tidak bisa memaksakan opini kita adalah opini yang paling tepat. Betapa mulianya sikap kita apabila kita mau open, menahan sedikit keegoisan pendapat kita, dan mentoleransi jalan orang lain yang berbeda dengan kita.
Sehingga kita  tidak memupuskan harapan-harapan mereka dan menyebabkan kebingunan di hidup orang lain.
Bukankah Begitu?

didaKHF



You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

PIN

2015:"Have A Brave Heart!"

Tulisan ini “Secara Singkat” saya rangkum dari buku diary 2015 saya. Saya sendiri memilih alunan dari Alan Walker-Faded  dan duduk dit...