The Blank Space (Bagian Satu)
02.38.00Pertengahan bulan Juni 2017, adalah momen pertama saya melihat fenomena
manusia gerobak yang notabene masih sangat jarang 'hadir' di kawasan Yogykarta. Saat
itu saya dengan sengaja mendamparkan diri ke sebuah angkringan belakang pasar
Bringharjo seorang diri. Di pinggir keriuhan semarak pasar pada saat itu, saya melihat
mereka…
Saya menghentikan pandangan pada objek nyentrik yang kala itu berada di
arah jam 8 dari tampat saya. Saya melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa
tidak hanya Saya yang tertarik dengan penampakan yang sepertinya akan menjadi
adegan pause button untuk saya. Beberapa orang ternyata juga memperhatikan
mereka juga. Ekspresi-ekspresi wajah beranekaragam mulai bermunculan ke permukaan, dan tentu saja saya mulai tersenyum ‘asik’ dengan situasi yang ada. Ada yang memandang mereka
dengan tatapan penasaran, sebagian kasihan, sepersekian memunculkan “emmh” dan sisanya
mengenyahkan pemandangan itu secepat kata ‘hanya’ diucapkan dari manusia-manusia yang berada di jam jam sibuk.
Untuk Saya, sebelum memutuskan untuk memberikan kesan apa, dan memvisualisasi
ekspresi yang tepat seperti apa di muka kucel saya.. Saya kembali memilih
menahan pandangan ke arah objek yang ada. Niat hati hanya ingin sedikit
mengintip, tapi ternyata kala itu saya justru terpaku dengan serial adegan
dengan perbincangan batin kembali menyeruak..
Mode kedap suara ruang diaktifkan, tekan: 'Pause Button'
Pasar Bringharjo tidak pernah
mengenal kata “sepi”.
Sepasang suami istri lanjut usia dengan baju sangat kumal namun entah mengapa terlihat sangat nyaman dan pas dimasing masing badan mereka. Saya masih sangat ingat dengan bentuk topi si kakek. Topi baret bermotif dengan warna putih dominan lusuh kotoran.
Perlahan sang istri mendekati sebuah
toko lalu duduk menepi lantai keramik di emperan toko yang nampak sepi kala
itu. Ia menghempaskan hijab ‘kupluknya’-nya (Kupluk:
Bahasa Jawa. Maaf saya tidak tau apa bahasa formalnya untuk benda yang saya
sebut dengan ‘kupluk’ tersebut), disusul sang kakek yang sepertinya dengan sisa-sisa kekuatan memakirkan gerobaknya yang tak hayal adalah rumahnya sendiri di pojok
parkiran.
Sang nenek nampak jelas memandang
suaminya (ok, tanpa mengecek surat keterangan nikah mereka, saya berprasangka sang kakek
disini adalah suami si nenek). Setelah memarkirkan gerobaknya sang kakek
lalu menghampiri tempat duduk 'nggelesot' sang nenek dengan membawa sebotol air dalam
kemasan botol tak berlebel, juga dengan sebuah bungkusan berkeresek merah (saya yakin itu keresek merah hasil daur
ulang, you can imagine what is the object I talking about huh?) ditangannya. Si kakek
duduk disamping kiri istrinya, hingga membuat mereka layak disebut formasi duduk jejer berdekatan namun tak berhimpitan, apalagi beririsan (Sudahlah did, fokus saja dengan tulisanmu, make it simple! Jangan
ingat lagi kenangan buruk tentang matematikamu).
Sungguh, saya tidak bohong,
mereka saling tersenyum indah. Saya ingat
betul ekspresi itu.. sampai sekarang saya masih sangat terbayang..
Sang kakek membuka botol minum
itu dan memberikannya kepada sang istri.
Pasti namun perlahan, si Kakek lalu
mengeluarkan sesuatu yang ada didalam bungkus plastik daur ulang bewarna merah.
Akhirnya saya tau, itu sebuah nasi bungkus kertas minyak yang dililit karet (dililit karet
sepertinya). Terlepas dari apa itu isinya, ukuran dari
bungkusan itu cukup lebih besar atau menyerupai sama dengan dari ukuran satu porsi nasi
bungkus normal, namun lebih kecil atau tidak sebanding dengan ukuran nasi bungkus dua
porsi dijadikan satu (do you know what I
mean?). Kala itu sore hari dan itu sungguh bukan jam makan siang yang tepat
untuk mengisi perut (disini perut saya yang saya
jadikan tolak ukur jam tayang. Makan siang telat kah? ataumakan malam kepagian?).
Mereka lalu membuka perlahan
bungkusan itu dan dengan sangat bijaknya menyantap langsung tanpa ritual cuci tangan anjuran mbak-mbak KKN. Suapan demi suapan nasi masuk ke
mulut mereka, oleh tangan mereka sendiri tentunya (tenang, tak ada adegan suap menyuap disana). Di tengah kesibukan mereka
mengunyah nasi mereka sedikit melakukan perbincangan sambil tersenyum. Ya,
mereka makan sambil tersenyum, mata mereka menyipit dan sesekali tertawa terkikih.
Potret sederhana itu dengan nyata tampak begitu menakjubkan
Dan saya merasa tidak asing dengan adegan itu..
Tunggu, apakah saya sedang dalam tayangan K.drama? Sial..
Tunggu, apakah saya sedang dalam tayangan K.drama? Sial..
Motor lalu lalang, debu asap
dimana mana, udara panas Kota Jogjakarta mulai diredam angin yang berhembus perlahan. Suasana 'pausebutton' terasa sangat nyata kala itu..
Hais, apakah angin yang datang mengantongi bubuk lada? Karena mata saya mendadak panas
Apakah es teh yang sedang sbarusan saya minum telah dicampur saus tiram oleh Pak Angkringan? Karena mata saya mendadak panas
Apakah es teh yang sedang sbarusan saya minum telah dicampur saus tiram oleh Pak Angkringan? Karena mata saya mendadak panas
Apakah global warming kota Jogja sudah sungguh-sungguh sangat keterlaluan? Karena
mata saya mendadak panas
Saya malu mengakui, tapi melihat pemandangan seperti itu membuat hati saya semakin menyecil dan habis ‘terkunyah
kunyah’ suasana
Bagaimana bisa? Bagaimana Bisa? Bagaimana Bisa???
Makhluk apa mereka itu?
Jelas, mereka hidup di dunia yang masih sama dengan saya, namun bagaimana dalam keadaan seperti itu mereka bisa bertahan hidup bahagia sedangkan saya (‘kala itu’) merasa galau habis-habisan?
Di kala sebagian manusia berkeluh
kesah memikirkan betapa kejamnya perekonomian saat ini, di kala
pasangan-pasangan suami istri cek cok karena angsuran KPR nunggak berbulan-bulan,
di saat para pencari kerja setengah kehabisan pompa oksigen, mereka berdua (si
kakek dan si nenek) hanya seakan tak
mengenal itu semua.
Mereka saakan tak memperdulikan ke sekeliling mereka. Sepertinya mereka hanya tertarik dengan dunia sendiri milik ‘mereka’ sendiri. Mereka memilih duduk, bahagia, dan menikmati yang ada.
Mereka saakan tak memperdulikan ke sekeliling mereka. Sepertinya mereka hanya tertarik dengan dunia sendiri milik ‘mereka’ sendiri. Mereka memilih duduk, bahagia, dan menikmati yang ada.
Menikmati yang ada..
Bahagia dengan menikmati yang ada.
Bahagia dengan menikmati yang ada.
Ah, mereka sungguh membuat saya
malu. Malu karena ternyata saya jauh lebih miskin dari mereka.
Miskin mental!
Sebagai “Pencari Kerja”, yang
jujur sudah mulai dipertanyakan sana sini, yang malah ngak habis pikir yang
ditunggu amanah kerjaan yang datang malah apaan, yang jujur hatinya sedikit retak dan berbunyi 'krek' setelah sekilas menangkap ekspresi keraguan lewat kedipan mata itu dari ‘orang idaman’, yang jujur masih
saja berkutat dengan perasaan khawatir berbayang: Bagaimana jika? Bagaimana besok?
Yang jujur, masih terbebani karena belum bisa mencapai target: Menjadi
anak idaman yang bisa membuat mereka tersenyum 'tenang' ketika menatap saya, sebelum menjadi istri idaman (Aduuh..
bahasane)
Saya merasa Malu karena ternyata
saya baru tersadar menjadi
bagian dari makhluk fana dengan cara pandang orang kebanyakan. Ikut mengekang hati untuk
bahagia ketika citra sedang berduka. Mengurung ekspresi kala tahta sudah tidak
ada. Ikut ikutan kurang bersyukur, ikut ikutan tidak mempercayai keputusan-Nya, ikut-ikutan ragu..
Duka dari hastag
berjudul The Blank Space, tak pernah saya nampakan tentu saja..
Disini syaa tidak berselera
untuk bercerita begitu bsnysk krjsfisn aneh yang terjadi selama dsys memegang jabatan sebagai job seeker.
Entah itu soal jadwal nyelip, saltumyang keterlaluan, atau yang kurang
setahap menuju 'naungan' tapi saya malah ngak bisa melihat kode saya sendiri dan berakhir dengan
tragedi ibu ibu HRD mencari mbak-mbak bersneakers (Baca: Mbak-mbak bersneakers benama Khoirunnida Husni Fajarria). Haiss…
Saya akui, tidak mudah hidup di The Blank Space (Ingat ya: tidak mudah, bukan sulit, bukan
tidak mungkin kita menjalaninya dengan perasaan damai semeleh bae).
Terlebih jika dikala saya mengalami moment keran hormone progresteron mengalir
deras!
Hal yang paling Saya khawatirkan sejak dulu kini sungguh terjadi: Hidup Tanpa Naungan, Tanpa Kerjaan
Hal yang paling Saya khawatirkan sejak dulu kini sungguh terjadi: Hidup Tanpa Naungan, Tanpa Kerjaan
Saya sendiri lupa
kapan terakhir kali menghabiskan waktu liburan panjang di rumah, bersama
keluarga. Liburan antar semester serasa penuh dengan dengan kegiatan, entah itu
part time, magang, ataupun ynang lainnya (Ah, saya ingat! Liburan terakhir saya
dirumah adalah liburan antar semester 1 ke2).
Kepercayadirian menurun, tentu. Saya sangat mengalaminya, dan
hal ini ternyata memang umum terjadi pada manusia. Dalam pisokologi hal ini
disebut dengan Post Power Syndrome.
Tentang sekilas informasi post power syndrome dapat dibaca di link berikut: Post Power Syendrom by Detikhealth
Sepasang suami istri lanjut usia dengan baju sangat kumal namun entah mengapa terlihat sangat nyaman dan pas dimasing masing badan mereka. Saya masih sangat ingat dengan bentuk topi si kakek. Topi baret bermotif warna putih dominan lusuh kotoran.
Potret sepasang suami
istri yang saya ceritakan diatas mengajarkan saya untuk tidak takut, untuk tidak khawatir, untuk tidak menyesal dengan apa yang belum terjadi! Menjadikan perasaan saya jauh-jauh lebih damai dari sebelumnya
Syukuri dan
Nikmati Apa yang Ada dan memeilih hidup untuk bahagia seperti biasanya adalah
cara terbaik untuk bertahan di dunia The Blank Space!
Berprasangka baik terhadap-Nya, saya yakin Dia tau yang terbaik
Disini saya mulai merasakan bahwa tawakal dan ikhtiar akan sangat sangat bermakna dengan disertai rasa syukur. Ingat, semakin kita mensyukuri nikmat yang ada, maka sungguh hidup kita semakin bahagia! Akan
datang kesadaran-kesadaran bahwa sudah banyak tak terhitung, beterbaran
dimana-mana nikmat Allah untuk kita! nikmat yang semakin lama dirasakan semakin
jauh semakin berakar kuadrat!
Dunia memang sama gelapnya, tapi tinggal kita mau atau tidak memaksa mata kita terbuka untuk mencari lentera, atau tetap menutup mata karena takut akan kegelapannya?
Saya sendiri sekarang
sadar memiliki banyak waktu luang untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan
bermanfaat. Seminar, melancong (re: Introspeksi dengan cara kita berkelana sendiri dan melihat cerminan diri kesekitar lingkungan), memanage warung, ngedit manuskrip [Ngedit manuskrip uwe bilang :’( ] dan yang paling
berharga dari semua ini adalah nikamat berkumpul bersama keluarga dan sahabat.
Saya senang sekali, tahun 2017 ini saya dapat menghabiskan satu bulan ramadhan
penuh dengan anggota keluarga, bahkan saya lebaran bersama setelah dua tahun
saya absen! Tahun ini semua kakak saya bisa berkumpul juga. Ini sungguh sangat
sangat sangat jarang terjadi...
Itu adalah nikmat
terbesar yang saya rasakan saat ini
Karena saya tidak bisa
menjamin saya akan terus “disini”, bersama mereka..
Karena saya takut
saya tidak bisa “berkumpul” bersama
seperti ini suatu hari nanti. Maka saya hanya akan menikmati kesempatan yang
diberikan Allah ini sebaik-baiknya. Menjadi anak, adik, cucu, keponakan, tante dan sahabat terbaik (seterbaik yang saya bisa) untuk
mereka yang saya kasihi…
Sepasang suami istri lanjut usia dengan baju sangat kumal namun entah mengapa terlihat sangat nyaman dan pas dimasing masing badan mereka. Saya masih sangat ingat dengan bentuk topi si kakek. Topi baret bermotif warna putih dominan lusuh kotoran.
Jadi,
Akhir kata,
Setelah anda (Pembaca)
menghabiskan beberapa menit waktu anda untuk membaca draft curhatan saya,
bagaimana..
merasa tertipu?
Merasa ngak habis
pikir?
Nih manusia sebenernya
lagi nulis apaan sih.. hahaha
sudahlah, terima saja closing
tipsnya yang utama jika anda seorang Job Seeker seperti saya:
Ketika saya dihadapkan dengan pertanyaan: Kerjanya Apa
Sekarang Mbak? Saya dengan nada bangga, yakin karena setengah membaca mantra “Chin
Up, Eyes Bright, Smiles On” pasti akan menjawab: Kerjaannya
Mencari Pekerjaan. Yap! Ingat, tetap jadilah orang yang sibuk dengan
kegiatan bermanfaat tema!
Cari hobi baru sebanyak banyaknya, cari diklat seminar ataupun
pelatihan di dinas daerah terdekat, cari kegiatan-kegiatan volunteer sebanyak-banyaknya dan terus pelihara otak agar ngak usang...Rengkuh nikmat, pembelajaran yang betebaran di sekitar dan jangan lupa ciptakan kabahagian kita sendiri! Sungguh, sebenarnya kebahagian sejati hanya kita yang mampu membangunnya.. sekaligus meruntuhkannya.
Tinggal mana kita mau memilihnya
Terimakasih..
Bersambung
[Sampai bertemu di The Blank Space Bagian Dua]
Salam Hangat, Salam
Bahagia, Salam Semangat 55
Khoirunnida Husni
Fajarria (KHF)
0 komentar